JOB CAREER VACANCY (LOWONGAN KERJA & KARIR)


May 19, 2007

Penerimaan CPNS di Daerah Makassar

Penerimaan CPNS di Daerah Sebaiknya Melalui Sistem Kontrak Kerja


Makassar, Kompas - Untuk menghindari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) di daerah, sebaiknya dikembangkan sistem kontrak kerja. Dengan demikian hanya pegawai yang berkeahlian tinggi (profesional) saja yang dapat mengabdikan dirinya di daerah.

Hal itu dikatakan Bupati Sinjai, Muhammad Roem, di Warung Kopi Poenam, Rabu (8/1). Hadir pembicara lainnya dalam acara yang diselenggarakan Radio Mercurius ialah anggota DPRD Sulawesi Selatan (Sulsel) Ajiep Padindang dan sosiolog Darwis dengan moderator Andi Mangara.

Di sejumlah kabupaten di Sulsel seperti Jeneponto, Parepare, Enrekang, dan Mamuju, sebagaimana terungkap dalam obralan tersebut dan diramaikan media massa lokal, terdapat kecenderungan penerimaan CPNS berbau KKN. Pejabat setempat bersama anggota Dewan disinyalir berbagi jatah untuk memasukkan anggota keluarganya sebagai pegawai negeri. Sehingga, yang bisa diterima menjadi pegawai negeri sipil hanyalah orang-orang dekat bupati, sekda, dan bahkan anggota DPRD.

Seorang penanya dari Kabupaten Enrekang yang hadir dalam acara tersebut mengungkapkan, seorang anak pejabat teras di daerah setempat bisa lolos menjadi pegawai negeri dengan ijazah setara strata satu (S1), pada saat yang bersangkutan belum menyelesaikan skripsinya. Padahal, untuk mendapatkan "kartu kuning" sebagai syarat pendaftaran CPNS, harus menyertakan ijazah asli. "Bagaimana mungkin anak pejabat yang belum punya ijazah asli ini bisa lolos menjadi pegawai negeri," katanya.

Sedangkan di Provinsi Sulawesi Tenggara, pemerintah daerah setempat berupaya mengubah peraturan agar memungkinkan anak seorang Sekda bisa masuk. Caranya ialah dengan membuat "formasi dadakan" sehingga memungkinkan hanya anak Sekda itu saja yang bisa memenuhi persyaratan sebagai pegawai negeri.

Menurut Muhammad Roem, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberi peluang bagi daerah untuk merekrut pegawai negeri. Bahwa dalam pelaksanaannya menimbulkan KKN, kata dia, karena prosesnya dilakukan tidak secara transparan mulai pendaftaran sampai penetapan.

KKN makin marak

Hal senada diungkapkan Darwis. Menurut dia, proses rekrutmen pegawai negeri tidak lebih baik dibanding zaman orde baru. Padahal, dengan diterapkannya otonomi daerah diharapkan dapat mengikis KKN yang pernah dilakukan orde baru. "Nah, di era otonomi daerah ini KKN dalam proses penerimaan CPNS malah semakin menjadi-jadi," katanya.

Ajiep Padindang mengatakan, proses rekrutmen CPNS oleh daerah dimaksudkan untuk menyerap tenaga kerja asal daerah setempat. Dia menyatakan ketidaksetujuannya apabila proses itu dilakukan oleh pemerintah pusat, sebagaimana yang diusulkan oleh seorang penanya dalam obrolan yang disiarkan langsung lewat radio itu. Alasannya, hal itu tidak akan menghapus KKN sama sekali. "Nepotisme lokal (daerah) jauh lebih baik dibanding nepotisme pemerintah pusat," katanya.

Seorang penanya, Idris, dari Lembaga Administrasi Negara (LAN) yang hadir dalam diskusi sambil bebas minum kopi itu beranggapan, pemerintah kabupaten/kota belum siap dalam menyelenggarakan proses penerimaan CPNS. Daerah, katanya, belum siap dijadikan sebagai agen penerimaan CPNS. "Pendeknya, daerah belum bisa memainkan peran sebagaimana peran yang dilakukan pemerintah pusat dalam proses rekrutmen CPNS," katanya.

Menurut Idris, bukan persoalan tidak adanya transparansi, sebab transparansi itu sudah dilakukan dengan cara mengumumkannya di media massa lokal dan pengumuman lainnya. Persoalannya adalah karena merebaknya praktik model lama berupa titipan-titipan dari pejabat setempat dan bahkan dari para anggota DPRD sendiri. (PEP)